Author: Akh Ahmad
•Rabu, Maret 02, 2011
 1. Orang Yang Marah Bila Ditimpa Musibah

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin Rohimahulloh


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Tentang orang yang marah-marah apabila ditimpa suatu musibah ?"

Jawaban.
Manusia terbagi menjadi empat tingkatan dalam menghadapi musibah.

Tingkatan Pertama : Marah-Marah
Ini terbagi kepada beberapa macam:

[1] Terjadi di dalam hati, misalnya jengkel terhadap Rabb-nya karena taqdir buruk menimpanya. Ini haram hukumnya, terkadang bisa menjerumuskan kepada kekufuran. Allah Ta'ala berfirman. :

"Artinya : Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keaadaan itu, dan jika ditimpa suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. Ia rugi dunia dan akhirrat" [Al-Hajj : 11]

[2] Dengan lidah, misalnya meminta celaka dan binasa dan yang semisal itu. Ini juga haram.

[3] Dengan anggota tubuh seperti menampar pipi, merobek saku, menjambak rambut dan semisalnya. Semua ini haram karena bertentangan dengan sabar yang merupakan kewajiban.


Tingkatan Kedua : Bersabar
 
Seperti diucapkan oleh seorang penyair ; sabar seperti namanya, pahit rasanya tetapi lebih manis akibatnya dari pada madu. Maka orang ini akan melihat bahwa suatu musibah itu berat, namun ia tetap menjaga imannya sehingga tidak marah-marah, meski ia berpandangan bahwa adanya musibah itu dan ketiadaannya tidaklah sama. Ini hukumnya wajib karena Allah Ta'ala memerintahkan untuk bersabar.

Dia berfirman :

"Artinya : Bersabarlah kalian, sesunguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar" [ Al-Anfa : 46]


Tingkatan Ketiga : Ridha
Yakni manusia ridha dengan musibah yang menimpanya. Ia berpandangan bahwa ada dan tidaknya musibah sama saja baginya, sehingga adanya musibah tadi tidak memberatkannya. ia pun tidak merasa berat memikulnya. Ini dianjurkan dan tidak wajib menurut pendapat yang kuat. Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya nampak jelas karena adanya musibah dan tidak adanya sama saja dalam tingkatan ridha. Adapun pada tingkatan sebelumnya, jika ada musibah dia merasakan berat, namun ia tetap bersabar.


Tingkatan Keempat : Bersyukur
Ini merupakan tingkatan yang paling tinggi. Di sini seseorang bersyukur atas musibah yang menimpanya karena ia memahami bahwa musibah ini menjadi sebab pengampunan kesalahan-kesalahannya bahkan mungkin malah menambah kebaikannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidaklah satu musibah menimpa seorang muslim kecuali dengannya Allah mengampuni dosa-dosanya sampai sebuah duripun yang menusuknya"


[Disalin kitab Al-Qadha' wal Qadar edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin', terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu Idris]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=697&bagian=0


2.Termasuk Iman Kepada Allah: Sabar Atas Segala Takdirnya

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab



Firman Allah Ta'ala (artinya):

"Tiada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (At-Taghabun: 11)

'Alqamah ('Alqamah bin Qais bin 'Abdullah bin Malik An-Nakha'i. Salah seorang tokoh dari ulama tabi'in. Dilahirkan pada masa hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Meninggal th. 62 H / 681M) menafsirkan iman yang tersebut dalam ayat ini dengan mengatakan:

"Yaitu: orang ketika ditimpa musibah ia meyakini bahwa itu semua dari Allah, maka ia pun ridha dan pasrah (atas takdir-Nya)."

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Ada dua perkara masih dilakukan orang, padahal kedua-duanya adalah kufur, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang mati."

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits marfu' dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu:

"Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliyah."

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba-Nya maka Dia menyegerakan hukuman baginya di dunia; sedang apabila Allah menghendaki keburukan pada seorang hamba-Nya maka Dia menangguhkan dosanya sampai Dia penuhi balasannya nanti di hari Kiamat." (HR At-Tirmidzi dan Al-Hakim)

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sungguh, besarnya pahala setimpal dengan besarnya cobaan; dan sungguh, Allah Ta'ala apabila mencintai suatu kaum, diuji-Nya mereka dengan cobaan. Untuk itu, barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan dari Allah, sedang barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan dari Allah." (Hadits hasan, menurut At-Tirmidzi)

Kandungan tulisan ini:

Tafsiran ayat dalam surah At-Taghabun. Ayat ini menunjukkan keutamaan sabar atas segala takdir Allah yang pahit, seperti musibah; dan menunjukkan pula bahwa amal termasuk dalam pengertian iman.

Sabar terhadap segala cobaan termasuk iman kepada Allah.

Disebutkan hukum tentang perbuatan mencela keturunan.

Ancaman keras terhadap orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliyah (karena meratapi orang mati).

Tanda apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya.

Tanda apabila Allah menghendaki keburukan kepada hamba-Nya.

Tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya.

Dilarang bersikap marah dan tidak sabar atas cobaan yang diujikan Allah.

Pahala bagi orang yang ridha atas cobaannya.

Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H
 


|
This entry was posted on Rabu, Maret 02, 2011 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: